Minggu, 30 Oktober 2011

TRAUMA CAPITIS

ASKEP TRAUMA KAPITIS

Pengertian

“Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah umur 45 tahun dan merupakan penyebab kematian no. 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cidera kepala. Kecelakaan kendaraan bermotor menrupakan penyebab cedera kepala pada lebih dari 2 juta orang setiap tahunnya, 75.000 orang meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanent” (York, 2000). Sedangkan menurut Brunner & Suddarth (2000), trauma capitis adalah “gangguan traumatic yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak tanpa disertai pendarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak”



Tipe-Tipe Trauma :



Trauma Kepala Terbuka: Faktur linear daerah temporal menyebabkan pendarahan epidural, Faktur Fosa anterior dan hidung dan hematom faktur lonsitudinal. Menyebabkan kerusakan meatus auditorius internal dan eustachius.
Trauma Kepala Tertutup
Comosio Cerebri, yaitu trauma Kapitis ringan, pingsan + 10 menit, pusing dapat menyebabkan kerusakan struktur otak.
Contusio / memar, yaitu pendarahan kecil di jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan TIK.
Pendarahan Intrakranial, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, Hematoma yang berkembang dalam kubah tengkorak akibat dari cedera otak. Hematoma disebut sebagai epidural, Subdural, atau Intra serebral tergantung pada lokasinya.


Ada berbagai klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala.

The Traumatic Coma Data Bank mendefinisakan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (cited in Mansjoer, dkk, 2000: 4):

Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)

Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)
Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)

Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
Konkusi
Amnesia pasca trauma
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)

Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologis fokal
Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.


Menurut Keperawatan Klinis dengan pendekatan holistik (1995: 226):

Cidera kepala ringan /minor

SKG 13-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio cerebral,dan hematoma.
Cidera kepala sedang

SKG 9-12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Cidera kepala berat

SKG 3-8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio serebral,laserasi atau hematoma intrakranial.
Annegers ( 1998 ) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesia pasca trauma yang di bagi menjadi :

Cidera kepala ringan,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia berlangsung kurang dari 30 menit
Cidera kepala sedang,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak
Cidera kepala berat,apabiula kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam,perdarahan subdural dan kontusio serebri.


Arif mansjoer, dkk (2000) mengklasifikasikan cidera kepala berdasarakan mekanisme, keparahan dan morfologi cidera.

Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter:

v Trauma tumpul : Kecepatan tinggi(tabrakan mobil).

: Kecepatan rendah(terjatuh,di pukul).

v Trauma tembus(luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya.



Keparahan cidera

v Ringan : Skala koma glasgow(GCS) 14-15.

v Sedang : GCS 9-13.

v Berat : GCS 3-8.



Morfologi

v Fraktur tengkorak : kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup. Basis:dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII.

v Lesi intrakranial : Fokal: epidural, subdural, intraserebral. Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cidera difus.



Jenis-jenis cidera kepala (Suddarth, dkk, 2000, l2210-2213)

Cidera kulit kepala. Cidera pada bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila cidera dalam. Luka kulit kepala maupun tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.
Fraktur tengkorak. Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak di sebabkan oleh trauma. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka dan tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak.
Cidera Otak. Cidera otak serius dapat tejadi dengan atau tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan atau cidera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi dan hemoragi otak. Kerusakan tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
Komosio. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit. Komosio dipertimbangkan sebagai cidera kepala minor dan dianggap tanpa sekuele yang berarti. Pada pasien dengan komosio sering ada gangguan dan kadang efek residu dengan mencakup kurang perhatian, kesulitan memori dan gangguan dalam kebiasaan kerja.
Kontusio. Kontusio serebral merupakan didera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah haemoragi. Pasien tidak sadarkan dari, pasien terbaring dan kehilangan gerakkan, denyut nadi lemah, pernafsan dangkal, kulit dingin dan pucat, sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari.
Haemoragi intrakranial. Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah kranial adalah akibat paling serius dari cidera kepala, efek utama adalah seringkali lambat sampai hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta peningkatan TIK.
Hematoma epidural (hamatoma ekstradural atau haemoragi). Setelah cidera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini karena fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus /rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal; haemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
Hematoma sub dural. Hematoma sub dural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar, suatu ruang yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma sub dural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik. Tergantung ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma sub dural akut d hubungkan dengan cidera kepala mayor yang meliputi kontusio dan laserasi. Sedangkan Hematoma sub dural sub akut adalah sekuele kontusio sedikit berat dan di curigai pada pasien gangguan gagal meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Dan Hematoma sub dural kronik dapat terjadi karena cidera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia.
Haemoragi intraserebral dan hematoma. Hemoragi intraserebral adalah perdaraan ke dalam substansi otak. Haemoragi ini biasanya terjadi pada cidera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cidera peluru atau luka tembak; cidera kumpil).


Etiologi

Minggu, 09 Oktober 2011

askep apendik

A. PENGERTIAN

Appendiksitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil. yaitu saluran kecil yang mempunyai diameter sebesar pensil dengan panjang 2-6 inci. Lokasi appendik pada daerah illiaka kanan,dibawah katup illiocaecal,tepatnya pada dinding abdomen dibawah titik Mc burney.

B. B.ETIOLOGI
Appendiksitis disebabkan oleh penyumbatan lumen appendik oleh hyperplasia Folikel lympoid Fecalit, benda asingstriktur karena Fibrasi karena adanya peradangan sebelumnya atau neoplasma.Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang memproduksi mukosa mengalami bendungan.Namun elastisitas dinding appendik mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan tekanan intra lumen.Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang akan menyebabkan edema dan ulserasi mukosa.Pada saat inilah terjadi Appendiksitis akut local yang ditandai oleh adanya nyeri epigastrium.
1. Ulserasi pada mukosa.
2. Obstruksi pada kolon oleh Fekalit (feses yang mengeras)
3. Pemberian barium
4. Berbagai macam penyakit cacing.
5. Tumor.
6. Striktur karena Fibrosis pada dinding usus.

C. TANDA DAN GEJALA  

 Anoreksia biasanya tanda pertama
 Nyeri, permulaan nyeri timbul pada daerah sentral (viseral) lalu kemudian
menjalar ketempat appendics yang meradang (parietal).
 Retrosekal/nyeri punggung/pinggang.
 postekal/nyeri terbuka → diare.
 Muntah, demam → derajat rendah, kecuali ada perforasi.
 Lekositosis → bervariasi, tidak mempengaruhi diagnosa/penatalaksanaan

D. DIAGNOSA BANDING

 Adenisitis Mensentrik.
 Kista ovari
 Koletiasis
 Batu ginjal/uretra.
 Diverkulitis

E. KOMPLIKASI

 Perforasi dengan pembentukan abses
 Peritonitis generalisata
 Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang.

F. PENATALAKSANAAN

Tidak ada penataksanaan appendicsitis, sampai pembedahan dapat di lakukan. Cairan intra vena dan antibiotik diberikan intervensi bedah meliputi pengangkatan appendics dalam 24 jam sampai 48 jam awitan manifestasi. Pembedahan dapat dilakukan melalui insisi kecil/laparoskop. Bila operasi dilakukan pada waktunya laju mortalitas kurang dari 0,5%. Penundaan selalu menyebabkan ruptur organ dan akhirnya peritonitis. Pembedahan sering ditunda namun karena dianggap sulit dibuat dan klien sering mencari bantuan medis tapi lambat. Bila terjadi perforasi klien memerlukan antibiotik dan drainase

G. PATOFISIOLOGI

Penyebab utama appendiksitis adalah obstuksi penyumbatan yang dapat disebabkan oleh hiperplasia dari polikel lympoid merupakan penyebab terbanyak adanya fekalit dalam lumen appendik.Adanya benda asing seperti : cacing,striktur karenan fibrosis akibat adanya peradangan sebelunnya.Sebab lain misalnya : keganasan ( Karsinoma Karsinoid )
Obsrtuksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral. Oleh karena itu persarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar umblikus.
Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu, peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritomium parietal setempat, sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan appendisitis perforasi. Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut sebagai appendisitis abses. Pada anak – anak karena omentum masih pendek dan tipis, apendiks yang relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada gangguan pembuluh darah, maka perforasi terjadi lebih cepat. Bila appendisitis infiltrat ini menyembuh dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi appendisitis kronis (Junaidi ; 1982).
INSIDEN
 
Appendiksitis sering terjadi pada usia tertentu dengan range 20-30 tahun. Pada wanita dan laki-laki insidennya sama terjadi kecuali pada usia pubertas.Dan usia 25 tahun lebih banyak dari laki-laki dengan perbandingan 3 : 2.
PENCEGAHAN
Pencegahan pada appendiksitis yaitu dengan menurunkan resiko obstuksi dan peradangan pada lumen appendiks. Pola eliminasi klien harus dikaji,sebab obstruksi oleh fekalit dapat terjadi karena tidak ada kuatnya diit tinggi serat.Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga menimbulkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda appendiksitis menurunkan resiko terjadinya gangren,perforasi dan peritonitis.

PRIORITAS MASALAH
1.Nyeri berhubungan dengan luka insisi pada abdomen kuadran kanan bawah post operasi appenditomi
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap nyeri
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive appendiktomi.
4. Resiko kekurangan volume cairan sehubungan dengan pembatasan pemasukan cairan
secara oral
RENCANA KE PERAWATAN
1.Nyeri berhubungan dengan luka insisi pada daerah mesial abdomen post operasi appendiktomi

TUJUAN
Nyeri berkurang/hilang dengan kriteria :
-tampak rilek dan dapat tidur dengan tepat
1. Kaji skala nyeri lokasi, karakteristik dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat
2. Pertahankan istirahat dengan posisi semi powler
3.Dorong ambulasi dini
4.Berikan aktivitas hiburan
5. Kolborasi tim dokter dalam pemberian analgetika

RASIONAL
1.Berguna dalam pengawasan dan keefesien obat, kemajuan penyembuhan,perubahan dan karakteristik nyeri.
2. Menghilangkan
tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang
3. Meningkatkan kormolisasi fungsi organ
4. meningkatkan relaksasi
5. Menghilangkan nyeri

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap nyeri

TUJUAN
Toleransi aktivitas dengan kriteria :
-klien dapat bergerak tanpa pembatasan
-tidak berhati-hati dalam bergerak

INTERVENSI
 
1. catat respon emosi terhadap mobilitas
2.Berikan aktivitas sesuai dengan keadaan klien
3. Berikan klien untuk latihan gerakan gerak pasif dan aktif
4. Bantu klien dalam melakukan aktivitas yang memberatkan

RASIONAL
1.Immobilisasi yang dipaksakan akan memperbesar kegelisahan
2. Meningkatkan kormolitas organ sesuiai dengan yang diharapkan
3. Memperbaiki mekanika tubuh
4. Menghindari hal yang dapat memperparah keadaan.

3.Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive appendiktomi

TUJUAN
Infeksi tidak terjadi dengan kriteria :
-tidak terdapat tanda-tanda infeksi dan peradangan

INTERVENSI
1. Ukur tanda-tanda vital
2. Observasi tanda-tanda infeksi
3. Lakukan perawatan luka dengan menggunakan teknik septik dan aseptik
4. Observasi luka insisi

RASIONAL
1. Untuk mendeteksi secara dini gejala awal terjadinya infeksi
2. Deteksi dini terhadap infeksi akan mempermudah dalam
3. Menurunkan terjadinya resiko infeksi dan penyebaran bakteri.
4. Memberikan deteksi dini terhadap infeksi dan perkembangan luka

4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungna dengan pembatasan pemasuka n cairan secara oral

TUJUAN
Kekurangan volume cairan tidak terjadi

INTERVENSI
1.Ukur dan catat intake dan output cairan tubuh
2.Awasi vital sign: Evaluasi nadi, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
3.Kolaborasi dengan tim dokter untuk pemberian cairan intra vena

RASIONAL
1.Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan atau kebutuhan pengganti.
2.Indikator hidrasi volume cairan sirkulasi dan kebutuhan intervensi
3.Mempertahankan volume sirkulasi bila pemasukan oral tidak cukup dan meningkatkan fungsi ginjal

Daftar Pustaka

1. Barbara Engram, Askep Medikal Bedah, Volume 2, EGC, Jakarta
2. Carpenito, Linda Jual, Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, 2000, Jakarta.
3. Doenges, Marlynn, E, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III, EGC, 2000, Jakarta.
4. Elizabeth, J, Corwin, Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
5. Ester, Monica, SKp, Keperawatan Medikal Bedah (Pendekatan Gastrointestinal), EGC, Jakarta.
Peter, M, Nowschhenson, Segi Praktis Ilmu Bedah untuk Pemula. Bina Aksara Jakarta

1 komentar:

Minggu, 02 Oktober 2011

askep GE

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GASTRO ENTERITIS (GE)

GASTRO ENTERITIS (GE)
A. Pengertian
Diare adalah suatu keadaan bertambahnya kekerapan dan keenceran buang air besar. Kekerapan yang masih di anggap normal adalah sekitar 1-3 kali dan banyaknya 200-250 gram sehari. Beberapa kasus klien mengalami peningkatan kekerapan dan kenceran buang air besar walaupun jumlahnya kurang dari 250 mg dalam kuraun waktu sehari (Soeparman 1990).
B. Faktor pencetus timbulnya diare
1. a. Pengurangan atau penghambatan ion-ion.
b. Perangsangan dan sekresi aktif ion-ion pada usus (Secretory diarrhea)
2. Terdapatnya zat yang sukar diabsorbsi atau cairan dengan tekanan osmotik yang tinggi pada usus(obat pencahar/ lansansia)
3. Perubahan pergerakan dinding usus.
D. Gejala klinik
- Diare yang berlangsung lama (berhari-hari atau berminggu-minggu) baik secara menetap atau berulang ? panderita akan mengalami penurunan berat badan.
- Berak kadang bercampur dengan darah.
- Tinja yang berbuih.
- Konsistensi tinja tampak berlendir.
- Tinja dengan konsistensi encer bercampur dengan lemak.
- Penderita merasakan sekit perut.
- Rasa kembung.
- Kadang-kadang demam.
E. Pendekatan diagnosis dari aspek tinja

1. Volume tinja yang banyak ? diare berasal dari kelainan usus halus dan permulaan usus besar.
2. Tinja yang sedikit dan berlendir (dengan peningkatan kemendadakan serta kekerapan buang air besar) ? kelainan berasal dari kolon desenden, sigmoid dan rektum.
3. Tinja yang berlendir dan bercampur dengan darah ? peradangan usus besar.
4. Tinja yang berbau busuk ? menunjukan adanya pembusukan asamamino yang tidak diserap.
F. Pemeriksaan
1. Laboratoris (pemeriksaan darah)
Peningkatan LED (pada penyakit Chron dan kolitis). Anemia terjadi pada penyakit malabsorbsi. Di jumpai pula hipokalsemia dan avitaminosis D, peningkatan serum albumin, fosfatase alkali dan masa protrombin pada klien dengan malabsorbsi. Penuruna jumlah serum albumin pada klien penyakit chron.
2. Radiologis
- Barrium Foloow through ? penyakit chron.
- Barrium enema ? skip lession, spasme pada sindroma kolon iritable.
3. Kolonoskopi
Pemeriksaan ini di anjurkan pada pasien yang menderita peradangan kolon.
G. Penatalaksanaan
1. Pengaturan diet
Bila terjadi konstipasi berikan makan dengan makanan tinggi serat. Di anjurkan untuk menghindari susu.
2. Pengaturan obat-obatan
H. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan yang berhubungan dengan faktor pendukung terjadinya diare, serta bio- psiko- sosio- spiritual.
2. Keluhan dan pemeriksaan fisik
- Nyeri/ kolik pada perut bagian bawah yang berkurang dengan pergerakan usus.
- Malaise.
- Kadang demam.
- Peningkatan pengeluaran tinja.
- Adanya lendir atau pus di dalam tinja.
- Anoreksia.
- Penurunan berat badan.
- Obstruksi intestinal.
- Peningkatan bising usus (khususnya di kuadran kanan bawah).
- Tinja yang lembek atau cair.
- Flatus.
I. Masalah dan rencana tindakan keperawatan
1. Perubahan pola eliminasi defekasi (diare) berhubungan dengan proses peradangan pada usus.
Tujuan: Pasien menunjukan adanya pola eliminasi yang berangsur normal dalam frekwensi dan konsistensi tinja.
a. Kaji kebiasaan pasien dalam melakukan buang air besar (frekwensi dan konsistensi).
b. Perhatikan dan catat karakteristik, faktor presipitasi dari diare.
c. Siapkan bedpan atau kamar kecil yang selalu siap di gunakan.
d. Bersihkan bedpan secepatnya dan gunakan pewangi untuk mengurangi bau.
e. Kurangi makan atau minuman yang menjadi faktor pencetus diare (jika di ketahui).
f. Kolaborasi dalam pemberian antispamodic, antidiare, dan antikolinergik untuk menurunkan peristaltik usus.
g. Kolaborasi dalam pemberian anti inflamasi dan steroid.
2. Resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan (defisit) berhubungan dengan diare
Tujuan: Selama dalam perawatan tidak terjadi defisit cairan.
a. Kolaborasi dalam pemeriksaan status cairan dengan (pemeriksaan BJ Plasma).
b. Pertahankan pemberian cairan oral yang adekuat.
c. Hitung dengan tepat selisih antara jumlah cairan yang masuk dan yang keluar.
d. Kolaborasi dalam pemberian cairan perpar enteral jika di perlukan.
e. Observasi tanda-tanda terjadinya defisit cairan (membran mukosa, turgor kulit, produksi urin, peningkatan temperatur, kelemahan, peningkatan BUN.
3. Resiko tinggi terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan atau berkurangnya kemampuan usus dalam melakukan absorbsi makanan.
Tujuan : selama dalam perawatan pasien tidak mengalami penurunan berat
a. Kaji kebutuhan nutrisi pasien sesuai dengan kebutuhan individual pasien (berdasarkan usia dan berat badan).
b. Jika diare berkurang berikan peningkatan jenis makanan secara bertahap (lembut dan berkalori tinggi ? kasar kemudian biasa).
c. Sajikan makanan dan minuman dalam keadaan hangat.
d. Anjurkan pada pasien untuk mengurangi beberapa jenis makan yang dapat menimbulkan diare (makanan yang berlemak, pedas, susu)
e. Kolaborasi dalam pemberian Zat besi jika terjadi anemia dan anti emetik jika pasien mengalami mual.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kram pada abdominal
Tujuan: Rasa nyeri berkurang atau hilang
a. Kaji dan catat adanya distensi abdomen, karaktristik nyeri dan lokasinya.
b. Anjurkan pada pasien untuk rileks serta ajarkan tehnk relaksasi serta beberapa cara untuk mengurangi rasa nyeri.
c. Kolaborasi dalam pemberian analgesik dan anti kolinergik.
d. Observasi keluhan serta TTV.
5. Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pengeluaran feces secara terus menerus
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit selama dalam perawatan
a. Kaji keadaan kulit pasien terutama pada bagian bokong dan sekitarnya yang mudah lecet akibat feces yang bersifat asam.
b. Bersihkan sekitar lokasi bokong secara adekuat.
c. Anjurkan pada pasien untuk mengganti sering ganti posisi pada saat istirahat terlentang.
d. Beri dukungan terhadap tindakan yang bersifat positif.
e. Jaga daerah sekitar bokong agar tetap kering dan tidak lembab.
f. Observasi keadaan kulit sekitar bokong.
Rencana Asuhan Keperawatan
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan sekunder terhadap diare.
Tujuan : Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan secara optimal.
Kriteria :
? Tanda-tanda vital dalam batas normal
? Tanda-tanda dehidrasi (-), turgor kulit elastis, membran mukosa basah, haluaran urine terkontrol, mata tidak cowong dan ubun-ubun besar tidak cekung.
? Konsistensi BAB liat/lembek dan frekuensi 1 kali dalam sehari
? Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit BJ urine 1,008-1,010; BUN dalam batas normal.
? BGA dalam batas normal
Intervensi :
1. Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan (dehidrasi)
R/ Penurunan volume cairan bersirkulasi menyebabkan kekeringan jaringan dan pemekatan urine. Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian cairan segera untuk memperbaiki defisit.
2. Pantau intake dan out put
R/ Haluaran dapat melebihi masukan, yang sebelumnya tidak mencukupi untuk mengkompensasi kehilangan cairan. Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat haluaran tak adeguat untuk membersihkan sesa metabolisme.
3. Timbang BB setiap hari.
R/ Penimbangan BB harian yang tepat dapat mendeteksi kehilangan cairan.
4. Penatalaksanaan rehidrasi :
a. Anjurkan keluarga bersama klien untuk meinum yang banyak (LGG, oralit atau pedyalit 10 cc/kg BB/mencret.
R/ Kandungan Na, K dan glukosa dalam LGG, oralit dan pedyalit mengandung elektrolit sebagai ganti cairan yang hilang secara peroral. Bula menyebarkan gelombang udara dan mengurangi distensi.
b. Pemberian cairan parenteral (IV line) sesuai dengan umur dan penyulit (penyakit penyerta).
R/ Klien yang tidak sadar atau tingkat dehidrasi ringan dan sedang yang kurang intakenya atau dehidrasi berat perlu pemeberian cairan cepat melalui IV line sebai pengganti cairan yang telah hilang.
5. Kolaborasi :
a. Pemeriksaan serum elektrolit (Na, K dan Ca serta BUN)
R/ Serum elektrolit sebagai koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit. BUN untuk mengetahui faali ginjal (kompensasi).
b. Obat-obatan (antisekresi, antispasmolitik dan antibiotik)
R/ Antisekresi berfungsi untuk menurunkan sekresi cairan dan elektrolit untuk keseimbangannya. Antispasmolitik berfungsi untuk proses absrobsi normal. Antibiotik sebagai antibakteri berspektrum luas untuk menghambat endoktoksin.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak adekuatnya intake dan diare
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria :
? Nafsu makan baik
? BB ideal sesuai dengan umur dan kondisi tubuh
? Hasil pemeriksaan laborat protein dalam batas normal (3-5 mg/dalam)
Intervensi :
1. Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan yang berserat tinggi, berlemak dan air panas atau dingin)
2. R/ Makanan ini dapat merangsang atau mengiritasi saluran usus.
3. Timbang BB setiap hari
4. R/ Perubahan berat badan yang menurun menggambarkan peningkatan kebutuhan kalori, protein dan vitamin.
5. Ciptakan lingkungan yang menyenagkan selama waktu makan dan bantu sesuai dengan kebutuhan.
6. R/ Nafsu makan dapat dirangsang pada situasi releks dan menyenangkan.
7. Diskusikan dan jelaskan tentang pentingnya makanan yang sesuai dengan kesehatan dan peningkatan daya tahan tubuh.
8. R/ Makanan sebagai bahan yang dibutuhkan tubuh untuk proses metabolisme dan katabolisme serta peningkatan daya tahan tubuh terutama dalam keadaan sakit. Penjelasan yang diterima dapat membuka jalan pikiran untuk mencoba dan melaksanakan apa yang diketahuinya.
9. Kolaborasi :
a. Dietetik
anak , 1 tahun/> 1 tahun dengan BB < 7 kg diberi susu (ASI atau formula rendah laktosa), makan setengah padat/makanan padat.
R/ Pada diare dengan usus yang terinfeksi enzim laktose inaktif sehingga intoleransi laktose.
Umur > 1 tahun dengan BB > 7 kg diberi makan susu/cair dan padat
R/ Makanan cukup gizi dan disesuaikan dengan kondisi kesehatan.
b. Rehidrasi parenteral (IV line)
R/ Klien yang tidak sadar atau tingkat dehidrasi ringan dan sedang yang kurang intakenya atau dehidrasi berat perlu pemeberian cairan cepat melalui IV line sebai pengganti cairan yang telah hilang.
c. Supporatif (pemberian vitamin A)
R/ Vitamin merupakan bagian dari kandungan zat gizi yang diperlukan tubuh terutama pada bayi untuk proses pertumbuhan.
Risiko injuri kulit (area perianal) berhubungan dengan peningkatan frekuensi diare
Tujuan : Injuri kulit tidak terjadi
Kriteria :
? Integritas kulit utuh
? Iritasi tidak terjadi
? Kulittidak hiperemia,atau iscemia
? Kebersihan peranal terjaga dan tetap bersih
? Keluarga dapat mendemonstrasikan dan melakasnakan perawatan perianal dengan baik dan benar
Intervensi :
1. Diskusikan dan jelaskan pentingnya menjaga kebersihan di tempat tidur .
R/ Kebersihan mencegah aktivitas kuman. Informasi yang adeguat melalui metode diskusi dapat memberikan gambaran tentang pentingnya kebersihan dan keadaran partisipasi dalam peningkatan kesehatan.
2. Libatkan dan demonstrasikan cara perawatan perianal bila basah akibat diare atau kencing dengan mengeringkannya dan mengganti pakaian bawah. serta alasnya.
R/ Kooperatif dan partisipati sangat penting untuk peningkatan dan pencegahan untuk mencegah terjadinya disintegrasi kulit yang tidak diharapkan.
3. Menganjurkan keluarga untuk mengganti pakaian bawah yang basah.
R/ Kelembaban dan keasaman faeces merupakan faktor pencetus timbulnya iritasi. Untuk itu pengertian akan mendorong keluarga untuk mengatasi masalah tersebut.
4. Lindungi area perianal dari irtasi dengan pemeberian lotion.
R/ Sering BAB dengan peningkatan keasaman dapat dikurangi dengan menjaga kebersihan dan pemberian lotion dari iritasi.
5. Atur posisi klien selang 2-3 jam.
R/ Posisi yang bergantian berpengaruh pada proses vaskularisasi lancar dan mengurangi penekanan yang lama, sehingga mencegah ischemia dan iritasi.
c. Pemeriksaan fisik.
? Tanda-tanda vital
Terjadi peningkatan suhu tubuh, dan disertai ada atau tidak ada peningkatan nadi , pernapasan.
? Bila terjadi kekurangan cairan didapatkan :
Haus
Lidah kering
Tulang pipi menonjol
Turgor kulit menurun
Suara menjadi serak
? Bila terjadi gangguan biokimia :
Asidosis metabolik
Napas cepat/dalam (kusmaul)
? Bila banyak kekurangan kalium
Aritmia jantung
? Bila syok hipovolumik berat
Nadi cepat lebih 120 x/menit
Tekanan darah menurun sampai dari tak terukur.
Pasien gelisah.
Muka pucat
Ujung-ujung ektremitas dingin
Sianosis
? Bila perfusi ginjal menurun
Anuria
Nekrosis tubular akut.
(Mansjoer, Arif., et all. 1999)..
.
Perubahan kenyamanan berhubungan dengan kram abdomen, diare dan muntah sekunder akibat dilatasi vaskuler dan hiperperistaltik.
? Tujuan : Klien merasa nyaman.
? Kriteria hasil : Klien akan :
? Melaporkan penurunan kram abdomen.
? Menyebutkan makanan yang harus dihindari.
Intervensi :
1. Dorong klien untuk berbaring dalam posisi terlentang dnegan bantalan penghangat di atas abdomen.
R/ Tindakan ini meningkatkan relaksasi otot GI dan mengurangi kram.
2. Singkirkan pemadangan yang tidak menyenangkan dan bau yang tidak sedap dari lingkungan klien.
R/ Pemandangan yang tidak menyenangkan atau bau tak sedap merangsang pusat muntah.
3. Dorong masukan jumlah kecil dan sering dari cairan jernih (misal; teh encer, air jahe, agar-agar, air) 30 sampai 60 ml tiap 1/2 sampai 1 jam.
R/ Cairan dalam jumlah yang kecil cairan tidak akan mendesak area gastrik dan dengan demikian tidak memperberat gejala.
4. Instruksikan klien untuk menghindari hal ini :
a. Cairan yang panas dan dingin.
b. Maknan yang mengandung lemak dan serat (misal ; susu, buah)
c. Kafein.
R/ cairan yang dingin merangsang kram ; cairan panas menrangsang peristaltik ; Lemak juga meningkatkan peristaltik dan kafein meningkatkan motilitas usus.
5. Lindungi area perianal dari iritasi.
R/ Sering BAB dengan peningkatan keasaman dapat mengiritasi kulit perianal.
Risiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik yang berhubungan dnegan kurang pengetahuan tentang kondisi, pembatasan diet, dan tanda-tanda serta gejala komplikasi Tujuan : Pengetahuan klien tentang kondisi, pembatasan diet, dan tanda-tanda serta gejala komplikasi adekuat.
? Kriteria hasil :
? Klien dapat menjelaskan kembali kepada perawat setelah penjelasan dari perawat.
Intervensi :
1. Jelaskan pembatasan diet :
a. Makanan tinggi serat (sekam & buah segar).
b. Makanan tinggi lemak ( susu, makanan goreng).
c. Air yang sangat panas atau dingin.
R/ Makann ini dapat merangsang atau mengiritasi saluran usus.
2. Jelaskan pentingnya mempertahankan kesimbangan antara masukan cairan oral dan haluaran cairan.
R/ Muntah dan diare dapat dengan cepat menyebabkan dehidrasi.
3. Jelaskan manfaat istirahat dan dorong untuk istirahat adekuat.
R/ Inaktivitas menurunkan peristaltik dan memungkinkan salurang GI untuk istirahat.
4. Instruksikan untuk mencuci tangan dan :
a. Desinfeksi area permukaan dengan desinfektan yang mengandung tinggi alkohol.
b. Rendam peralatan makan dan termometer dalam larutan alkohol atau gunakan alat pencuci piring untuk peralatan makan.
c. Tidak mengijinkan menggunkan bersama alat-alat dengan orang sakit.
R/ Penyebaran virus dapat dikontrol dengan desinfeksi area permukaan area (kamar tidur) dan peralatan makan. Desinfeksi dengan kandungan alkohol rendah tak efektif melawan beberapa virus.
5. Ajarkan klien dan keluarga untuk melaporkan gejala ini :
a. Urine coklat gelap menetap selama lebih dari 12 jam.
b. Feses berdarah.
R/ Deteksi dini dan pelaporan tanda dehidrasi memungkinkan intervensi segera untuk mencegah ketidakseimbangan cairan atau elektrolit serius.
DAFTAR PUSTAKA
Caine, Randy Marion, 1987, Nursing Care Planning Guides For Adult, USA Baltimore: William & Wilkins.
Junadi, Purnawan, 1982, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Price, Sylvia Anderson, 1985, Pathofisiologi Konsep klinik Proses-Proses Penyakit, Jakarta: EGC.
Soeparman, 1990, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.